Sudah lama apalagi
semenjak gue suka menulis. Gue jadi suka banget baca buku. Macam-macam buku
yang gue baca. Karena suka baca buku inilah, harus ada buku bacaan baru – entah
itu pinjam atau beli sendiri – untuk gue baca setelah selesai membaca buku
lainnya. Beberapa hari kemarin alhamdulillah gue punya sedikit uang untuk
membeli buku.
Tanpa basa-basi
berangkatlah gue ke toko buku yang sekarang sudah punya gedung sendiri. Tadinya
toko buku ini numpang di mall terkenal di daerah gue.
Pilihan buku yang
akan gue beli dari awal sudah direncanakan untuk novel, nggak beli yang lain.
Gue biasanya beli buku yang berhubungan dengan spiritual dan motivasi atau
psikologi. Gue suka tema buku yang gue sebutkan tadi karena sebagaimana
mestinya, manusia memang membutuhkan suntikan spiritualitas dan motivasi dalam
hidup.
Dan membaca buku
psikologi (bukan buku pelajarannya) bisa sedikit lebih memahami diri sendiri
dan terutama orang lain.
Sekarang pemahaman
yang gue dapat dari buku-buku itu ingin gue bagikan tapi bukan dalam bentuk
teori tapi dalam bentuk cerita dari kehidupan yang gue alami dan orang-orang
sekitar atau juga bisa dalam bentuk fiksi. Makanya gue membaca novel untuk
menambah wawasan dan pemahaman dalam mendeliver cerita dengan baik.
---
Di tangan sudah ada
dua novel yang keren. Pertama dari Okky Madasari, Pasung Jiwa. Yang kedua novel
Dua Belas Pasang Mata dari Sakae Tsuboi. Mungkin kedua novel ini novel lama
tapi yang penting isinya.
Novel dari zaman Fir’aun
juga gue baca kalau isinya bagus.
Di kesempatan ini gue
mau membahas sedikit tentang Pasung Jiwa-nya Okky Madasari. Mungkin di
postingan lain gue akan mereview atau membahas tentang novel bang Sakae Tsuboi.
Review novel ini juga dari sudut pandang seorang yang suka baca aja, nggak yang
aneh-aneh.
Ada 323 halaman
dalam novel Pasung Jiwa. Menceritakan dua orang yang ingin terbebas dari
berbagai kungkungan yang membelenggu dalam hidup mereka. Dalam novel ini banyak
sekali pertanyaan. Pertanyaan macam apa? Pertanyaan tentang sesuatu yang selama
ini kita anggap normal dalam kehidupan manusia pada umumnya.
Pertanyaan-pertanyaan
itu terus menerus dikeluarkan oleh kedua tokoh ini; Sasana dan Jaka Wani. Kadang
gue merasa ada beberapa jawaban mereka berdua yang tidak sesuai dengan
pemahaman yang ada dalam diri gue sebagai pembaca. Kenapa? Karena gue terjebak
dalam pola pikir ‘kenormalan’. Buku ini mempermainakan akal sehat kita untuk
terus bertanya dan itu diwakili oleh kedua karakter dalam novel ini.
Baru kemarin gue
ikutan acara workshop Teacher Conference di salah satu sekolah bonavit di
Cirebon. Pemateri pertama di datangkan langsung dari Concordia University.
Professor Lory Sanchez namanya. Dalam materi yang beliau sampaikan gue sangat
tertarik dengan empat skill (kemampuan) yang harus dimiliki seorang guru atau murid di
dalam kelas atau juga di luar.
“Colaboration, creative, critical thinking,
dan problem solving. Itulah keempat
skill yang harus kita punya di abad 21 ini. Dimana keempat skill itu sebenarnya
sudah dimilki manusia secara alamiah” kata prof Lory. “dengan skill itu pula
banyak penemuan dan inovasi yang sudah kita rasakan dalam hidup kita sekarang”
lanjutnya sambil menunjuk dan menerangkan sebuah slide bergambar handphone.
Yang menarik dari
keempat skill itu adalah critical thinking. Kenapa? Karena itulah yang akan
memicu kita untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan terus berpikir untuk bertahan
hidup sehingga munculah kreatifitas dan pemecahan masalah dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Dalam novel Pasung
Jiwa itu terus-terusan seorang Sasana bertanya kepada dirinya sendiri tentang
semua yang dia alami, semua yang orang lain anggap normal. Dari sana juga dia
menemukan jawabannya. Walaupun tidak semua jawaban yang dia temukan bisa kita
terima dengan baik. Karena itu timbul dari bertahun-tahun pendapat orang lain
dan ‘kenormalan’ yang selama ini kita anggap satu-satunya kebenaran.
Padahal itu bisa
saja memunculakan sebuah pemikiran baru dan sebuah paradoks.
Itulah critical thinking yang gue lihat dalam novel ini pada karakter-karakternya.
Apalagi ketika
Sasana dalam alurnya dia masuk rumah sakit jiwa karena dianggap tidak waras
oleh keluarganya. Dan di dalam rumah sakit jiwa itu pikiran kritisnya tentang
orang yang sakit jiwa dan orang yang normal tidak ada bedanya. Keduanya punya
pembenaran masing-masing atas semua tindakan dan argumennya. Orang normal
menganggap mereka gila, sementara orang gila menganggap mereka tidak bisa
memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Akhirnya
‘kenormalan’ itu membuat orang-orang gila/stres harus dikurung dan diasingkan
dalam sekat-sekat dan dinding-dinding tebal tanpa memahami apa yang ingin
mereka katakan dan lakukan sebenarnya.
Dialog yang paling
gue suka dalam novel ini adalah dialog antara Sasana dan Masita seorang perawat
yang sedang melakukan penelitian pada pasien-pasien sakit jiwa. Terutama
Sasana.
“jadi apa
kesimpulanmu setelah meneliti kami?” tanya Sasana pada Masita.
“tak ada jiwa yang
bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal di luar jiwa itu. Yang bermasalah
itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus
dikeluarkan dari lingkungan mereka hanya karena kalian berbeda” jawab Masita. (hal 146)
Dari jawaban itu
Sasana mengatakan pada Masita “kamu sepertinya sudah jadi tak waras gara-gara
terlalu lama disini”.
Masita ikut tertawa.
Pasung
Jiwa
Penulis: Okky
Madasari
Tebal
halaman: 323 halaman
Penerbit:
PT. Gramedia Pustaka Utama
---
Novel ini bukan
novel cinta-cintaan. Tapi novel yang cinta pada proses berpikir. Menjadikan
yang membacanya banyak berpikir. Semua yang dihadirkan di novel ini adalah
kejadian-kejadian sosial yang biasa kita lihat di kehidupan sehari-hari,
menurut gue. Hanya saja kita nggak pernah tahu ada apa dibalik cerita itu.
The last.
Three words for this novel: Keren, menarik dan recommended.
Gimana menurut
teman-teman sekalian? Sudah baca novelnya juga, atau belum? Komen dong.
Follow twitter gue
(@tofikdwi) dan Instagram gue (tofikdwipandu).
Sekian dari gue.
Tunggu review novel satunya. See you next post.
Wah menarik banget bukunya. Aku setuju deh sama kutipan diatas. Terkadang apa yg berbeda itu dianggap aneh, gak waras, sakit jiwa. Padahal sebenernya semua itu cuma stereotipe dan permainan konstruksi sosial aja. Gak selalu yg beda itu gila, hanya saja memang masyarakat masih susah menerima perbedaan itu sendiri.
BalasHapus