Mulai
menjamurnya kesenian stand-up komedi beberapa
tahun yang lalu mengindikasikan bahwa kesenian ini mulai banyak disukai
masyarakat Indonesia. Dan menjelang akhir tahun 2015 kemarin adalah tahun
dimana para komika mulai muncul ke permukaan industri perfilman Indonesia. Dan
tahun ini adalah (mungkin) tahun dimana mereka ‘memanen’ hasil karya di industri
film. Sebagai contoh event IBOMA di
SCTV kemarin, komika seperti Ernest
Prakasa, Babe Chabita, Raditya Dika dan kawan-kawan berhasil membawa piala
penghargaan.
Kompetisi
stand-up komedi pun sekarang sudah
mulai masuk ke dalam ruang lingkup stasiun tipi mainstream, macam Indosiar. Yang kita tahu bahwa tipi ini terkenal
dengan sinetron ‘naga’ dan ‘elang terbang’nya yang sering juga menjadi materi para
komika. Tapi sepanjang gue melihat kompetisi bernamakan Stand Up Comedy Academy
Indosiar disingkat SUCA itu belum ada
komika yang membawakan materi tentang betapa kampretnya Indosiar ketika
menyiarkan sinetron-sinetron bertemakan zaman dulu dengan naga dan elang dibumbui
dengan efek yang menurut gue agak ‘norak’. Mungkin juga para komika nggak berani
mengangkat materi ini.
Gue
cukup senang karena masyarakat Indonesia mulai suka dengan stand-up komedi, mungkin karena OVJ udah nggak ada kali, ya, gue
juga nggak tahu. Emak gue yang biasa nonton sinetron Turki juga suka dengan stand up komedi. Mungkin ukuran
masyarakat Indonesia menerima atau nggak-nya stand
up komedi adalah emak gue. Kalau emak gue suka maka bisa jadi masyarakat Indonesia juga suka. Yah, nggak usah jauh-jauh dan repot-repot untuk
survei karena emak gue adalah potret masyarakat pada umumnya yang doyan nonton tipi
dengan tayangan sinetron ala India, Turki, dan negara-negara lainnya termasuk
negar api, air, tanah dan udara. Emak gue adalah representatif penonton tipi mainstream tapi dia benci Inbox dan
Dahsyat.
Gue
juga suka stand up dari mulai semester tiga waktu gue kuliah. Komika favorit gue, Adriano Qalbi, Semmy Notaslimboy dan pak Irvan Karta. Gue juga suka kompetisi komedi yang diadakan di Indosiar
tapi ketika para komika tampil aja dan kalau komiknya garing gue langsung pindah
cenel atau biasanya langsung matiin tipinya. Baru, setelah beberapa menit kemudian gue
nyalakan kembali. Gue nggak tega melihat mereka garing dan ngeboom (baca: nggak lucu). Dan gue lebih
nggak tega melihat komika berdiri begitu lama setelah perform. Tidak lain dan tidak
bukan karena mereka menunggu komentar dari juri.
Komentar
juri menurut gue lumayan lama (ngebosenin dan ngeboselasa), mungkin karena jurinya pun nggak cuman tiga
orang kayak di Kompas TV. Walaupun sekarang di Kompas nambah juri satu lagi, tapi komentar
dan penilaian juri dilakukan dengan singkat dan padat. Di Indosiar malah sebaliknya: komennya lama. Belum
mentornya pun ikutan ngasih komentar, dan kadang (mungkin sering) hostnya suka
ngasih tantangan kepada komika. Menurut gue kasian sih, walaupun itu panggung
mereka tapi stand up komedi itu jauh
berbeda dengan Dangdut Akademi.
Udah
gitu mereka harus bikin materi (hampir) setiap hari, karena tayang seminggu
bisa dua kali lebih. Gue nggak teganya disitu, kalau nggak lucu atau garing
sebenarnya mereka juga nggak salah-salah banget. Gue sendiri untuk menulis blog
aja nggak bisa setiap hari, apalagi observasi yang memakan senggaknya waktu 2
atau 3 hari untuk kemudian gue tuangkan kedalam tulisan. Observasi penting
buat gue untuk memastikan bener nggak data yang gue masukin ke tulisan (kayak
IBOMA di awal). Gue harus cek berita dan tulisan yang bener itu kayak gimana.
Tapi
itulah yang terjadi. Gue juga nggak bisa ngapa-ngapain selain memberikan
pandangan semacam ini. Dan menurut gue (lagi) stand up komedi itu harusnya nggak cuman haha-hihi doang. Kalau
haha-hihi doang gue rasa OVJ udah bikin kita ketawa terbahak-bahak.
Tapi
kan OVJ kadang ada becandaan yang nggak pantes gitu.
Makanya
stand up komedi muncul karena udah
bosen dengan komedi yang itu-itu aja dan cenderung menyakti fisik. Kita nggak
mau sekedar ketawa, walaupun memang itu yang kita cari dari sebuah komedi.
Tapi lama-lama, kan, OVJ dan komedi sejenis mungkin mulai kehabisan ide atau
bisa jadi di tengah acara berjalan karena kehabisan ide unutk improfi, mereka
mikir hal konyol untuk dilakukan di tengah acara berlangsung. Entah gue juga
nggak tahu. Gue suka OVJ tapi lama-lama ngebosenin.
Nah,
dengan adanya stand up komedi gue
harap para komika nggak cuman bikin komedi yang haha-hihi doang. Orang yang
memulai stand up komedi di Indonesia
pun pernah bilang kalau setiap bit-bit stand
up itu adalah keresahan yang mereka alami. Maka mencari materi untuk stand up pun berasal dari keresahan
sehari-hari para komika. Tentu gue pikir mereka harus benar-benar sensitif dan aware dengan keadaan yang terjadi. Dan mereka ngerasa ada yang salah dengan keadaan dan kejadian tersebut.
Gue
kurang setuju kalau ada juri bilang “jangan
ngambil materi yang susah-suah dulu, di lingkungan sekitar ajah dulu. Jangan jauh-jauh”.
Menurut gue kalau mereka udah tampil di tipi, apalagi tipi nasional dan
dilombakan, artinya mereka udah ekspert dan udah diakui kemampuannya maka dari itu mereka sudah harus memikirkan hal-hal yang diluar
dirinya. Nggak melulu ngmongin diri sendiri dan mungkin kisah asmaranya. Kalaupun ada
materi yang dikaitkan dengan dirinya, gue rasa harus ada komparasi dengan
keadaan orang lain dan dengan keadaan pada umumnya. Actually, kalau gue mendengar bit tentang cinta yang menceritakan
kisah cinta komika, udah males denger. Karena udah banyak yang mengangkat
hal itu. Masa gue harus denger hal yang sama terus.
Cobalah
angat masalah yang lain. Apakah selain masalah cinta bukan masalah yang
berarti? Stand up komedi juga menurut
gue emang harus banyak mikir, banyak baca, banyak refernsi, mengeluarkan opini
dan menganalisis apa yang terjadi di masyarakat. Kok ribet banget sih? Ya, stand up itu emang beda dari komedi yang lain. Mereka membawa opininya
di dalam sebuah bit. Kalau misalnya kurang referensi dan males mikir mungkin ajah
akan menghasilkan tawa tapi nggak ada isinya.
Yah,
stand up komedi menurut gue harus ada
isinya. Apa bedanya dengan komedi lain kalau stand up ini hanya menampilkan tawa semata. Gue bukan komika tapi
gue mengamati mereka, karena jujur ajah gue suka dengan kesenian ini bukan
cuman suka tapi udah mulai sayang walaupun gue bukan komika. Saking sukanya,
gue sampai cari stand up komedian
luar negri dan gue menemukan Chris Rock dan Luis CK. Mengamati mereka dan
ternyata mereka memang seperti apa yang gue katakana: membawa pesan.
Masyarakat
indonesia udah mulai suka stand up. Mungkin
beberapa ada yang nggak ngerti bahkan nggak tahu, tapi seperti diibaratkan barang
berkualitas dan (bisa jadi) mahal, stand up
komedi akan membentuk pasarnya sendiri. Dinikmati masyarkat Indonesia bukan
berarti seluruh indonesia harus tahu, dan suka dengan kesenian ini karena suka
dan nggak suka itu masalah selera. Dunia hiburan tanah air pun udah mulai akrab
dengan para komika yang kesana-kemari main film dan bahkan ada yang main
sinetron juga sitkom. Sebuah pemandangan yang luar biasa karena perjuangan
mereka nggak gampang dan tentu nggak sia-sia pada akhirnya.
Pesan
gue untuk para komika tetap jaga performa, tetap sehat agar bisa menghibur kita
semua, jangan jumawa karena sudah menjadi artis ibukota, jangan pula menjadi
lupa akan jasa para foundernya. Dan.. jangan cuman mbikin kami haha-hihi semata.
VIVA LA KOMTUNG!
Wah setuju nih, menurut gue stand up comedy itu sangat bagus apalagi dengan perkembangan komedi tanah air yang suka membuat celaan fisik sebagai bahan komedi nya. Gue sendiri sih engga ngikutin perkembangan suc dari awal, tapi kalau ditanya siapa komika yang gue suka, gue jawab dodit *karna dia inoncent dan bisa main biola*
BalasHapusAda lagi kok suc yang berkualitas, gue pernah liat vidoe suc nya cak lontong, nah itu berkelas.. bukan semata mata mengangkat kisah cinta dan celaan semata. Agree with you soal acara yang di indosiar.
dodit minstream ahh hahaha
HapusGua juga ga suka sama acara Stand Up Comedy yang ada di Indosiar, terlalu lama, kadang juga lucunya suka maksa. Juri-jurinya juga gitu sih, gua lebih suka SUCI. Pesertanya juga lucuan SUCI sih, dari pada SUCA. Komik yang gua suka juga jebolan SUCI, si Kemal.
BalasHapusSaya enggak suka Stand Up Comedy, soalnya lucunya nanggung. Beda pas liat OVJ, ketawanya bisa lama. Hiburan buat saya bukan sekedar 3 menit. Kalo bisa setengah jam atau lebih. Sadarkan, kalau hidup itu banyaknya serius. Masa iya hiburan lucu cuma 3-5 menitan. Enggak ngakak lagi. Hehehe. Pendapat aja sih versinya saya.
BalasHapusDibilang suka juga engga
BalasHapusDibilang enga suka juga engga
Ya itu balik lagi ke selera
Ya jelaslah komika pas manggung di suca engga bakal nyinggung sinetron naga2an
Bisa berabe ke depannya bwt mereka
Yg saya engga suka di suca itu pas kasih komennya
Kelamaan
Sekarang saya suka ngikutin kompetisi di kompas tv. Lucu-lucu. Kalau di SUCA banyak garingnya karena yang kata kamu di atas, Pik, bikin materinya hampir setiap hari. Pegel.
BalasHapusKemarin dibahas sama Ardit SUCI 6, tentang komentator kompetisi dangdut Indosiar yang suka lama banget pas ngasih komentar, dan benar banget ketika nulis materi emang gak butuh sehari-dua-hari gak cuma mancing ketawa dan bawain punchline. Rin SUCI 6 harus close mic gara-gara materinya disebut "sampah" sama Bang Pandji karena gak ada pesannya, dan LOUIS CK itu benar-benar stand-up comedy-an yg banyak quotes-nya hehehe Viva La Komtung!! Keren!!
BalasHapusMenurut yang gue amati, di Indosiar itu semuanya settingan. Mulai dari juri yang komentar lama, sampai juri yang ngasih tantangan mendadak. Sebenarnya tantangannya udah di kasih tau sebelumnya. Biasa ini mah. Soalnya tujuan mereka entertain, menghibur. Kan ribet kalu di kasih tantangan, tapi malah komikanya gak siap, terus di bully, di sorakin, akhirnya nangis.
BalasHapusSejauh ini yang gue pikir materi nya padat ilmu, baru Sammy sama Pandji.
Masalah observasi penting. Gue setuju untuk nulis aja gue juga adang butuh observasi. Gak asal nulis
stand up comedy di indosiar emang lucu. apalagi jurunya..
BalasHapusada aja yang di lucuan yang di omongin. tapi saat ada tantang-tantangan, bener engga tuh? masak di kasih tantangan. langsung bisa, tanpa berlatih. tanda tanya..
Mungkin para komika indosiar takut disembur naganya, makanya gak dibahas.
BalasHapusKalo masalah materi yg diambil dari ruang lingkup sekitar sih gak masalah, itu juga kalo dia pinter2 milih materi.
Mungkin para komika indosiar takut disembur naganya, makanya gak dibahas.
BalasHapusKalo masalah materi yg diambil dari ruang lingkup sekitar sih gak masalah, itu juga kalo dia pinter2 milih materi.
Menurut gue apa yang loe bilang bener sih. tapi lihat dari sisi mana dlu soalnya. Kalau loe ada dunia tv itu semua udah di seting semua. Dari tema loe tampil/ materi, gimana entar penyesuai waktu tayang, dan masih banyak lagi. Kalau mereka bisa bebas bereksplorasi mereka akan lebih lucu kok. Yah kegitulah dunia. Yang gue tahu sih mereka tidak bisa bebas ngeluari materi mereka karena tuntan TV. Salam
BalasHapusNah maka dari itu, gue menyukai komika yang menyampaikan materi dengan observasi yang dalam. Kita dibawa sedalam-dalam ke materinya. Dengan ini, kita gak hanya sekedar tertawa, tetapi juga belajar, kita dapet ilmu juga dari materinya. Bener banget kata bang topik, komika harus banyak baca, cari referensi supaya materinya memiliki "isi" yang bisa disampaikan ke penonton.
BalasHapusKalo cuman, "hahahha", tapi gak ada pesan nya. Sama aja dengan tong kosong. Ketawa mah cuman bentaran, tapi kalo pesan? Mungkin bisa lama kita mengingatnya.
Makin menjamurnya acara ini, bisa diambil kesimpulan kalo acara ini memang disukai masyarakat indonesia, termasuk gue. Tapi SUCI 6 gak ngikutin gue -_-
Bukan penggemar suc sih. Cuman pas kemarin suca nongol di indosiar lumayan ngikutin juga pik. Setuju sama yg kamu jabarkan.
BalasHapusTayangnya suca sebenarnya bagus, mengenalkan suc ke masyarakat indonesia, biar masyarakat kita tau kalau ada sebuah hiburan yg mampu menghibur sekaligus mendidik dan berkelas. Cuman dari yg aku perhatiin indosiar salah kaprah dan kebawa juga ke acara2 sejenis kompetisi yg tayang di indosiar. Kebanyakan juri, komentar g penting dan g berisi, host yang kebanyakan, jam tayang yg terbilang tinggi, bikin peserta yang harusnya menghadirkan peforma yg berkualiatas jadi keok. Kebanyakan karena mentok, urusan percintaan, kalau g gitu ngehina diri dia sendiri. Lah kalau kayak gini apa bedanya ama guyonan yg suka ngerendahin fisik orang lain?
Saya sepakat. Stand up itu angin baru, saya selalu mikir kalau yang kayak gini ini komedi yang cerdas. Pasalnya apa yang bikin ketawa itu murni verbal, mimik wajah dan gestur yang gak keterlaluan. Gak ribet dengan properti dan aksi berlebihan. Terkesan lebih elegan.
BalasHapusDan mamang kadang yang bikin lucu justru dari ide dan gagasan si komika. Lebih bagus lagi kalau mereka mengankat isu-isu di masyarakat. Lumrah, kadang bahkan semacam rahasia publik yang tiap orang pada-pada tau tapi bisa diankat dan jadi lucu. Timbul jadi semacam pesan. :)
ada benernya juga yang ditulis diatas. SUC bukan sekedar "hahahihi" belaka. karena menurut gue, SUC adalah seni, dan juga wadah, wadah untuk menyampaikan keresahan, dan opini. Dalam SUC ada yg namanya persona, nah itu yg harus dipunyai semua komika, agar gak sekedar lucu doang, tapi punya ciri khas.
BalasHapusYa mana beranilah mereka bahas si naga terbang Pik wkwkkw bisa dicabut kontraknya ntar :p
BalasHapusTapi akhir2 ini banyak komika yg gak kompeten menurutku, masih bagusan komika yg dulu. Bener sih gak hanya modal haha hihi doang, materi dan pesan harus dapat disampaikan ke pemirsa. Semoga mereka yg sudah terkenal itu ga sombong
Indonesia menang beberapa tahun ini butuh hiburan alternatif sampe akhirnya stand up comedy muncul dan meledak, boom!
BalasHapusSemua jadi latah pengen liat stand up.
Tapi belakangan ini komika muda yang baru muncul kayak gak ada ciri khas loh bang, mereka masih sering mengikuti pendahulunya. Ya mungkin itu inspirasi mereka, tapi mteri yang di sampaikan juga itu2 aja dan terkesan lebih lucu seniornya.. Gue si lebih suka senior2 tentunya... lebih lues dan lucu...
Klo yang nggak cuma haha hihi doang kayaknya panji deh, dia selalu bawa pesan sesuatu. Kayaknya gitu si.. di vlog nya juga ada opini yang selalu dia bawakan.