Di pagi yang sangat dingin dengan terpaan
sinar mentari ini gue tiba-tiba ajah pengen banget menyingkap kisah anak-anak
kampung yang nasibnya kurang beruntung, nggak kayak gue. Kurang beruntung
disini bukan berarti mereka anak yatim-piatu, kurang beruntug disini lebih ke
pendidikan orang tua yang kurang, kasih sayang yang kurang. Dan tentu saja
terkadang nggak bisa dipungkiri, uang jajan yang kurang.
Masa kanak-kanak adalah masa dimana kita bisa
bermain selama mungkin, dengan teman sebanyak mungkin, kadang saking lamanya
perut belum ke isi makanan pun, masa bodo. Yang penting hati senang. Dibalik
kesenangan itu ternyata nggak sedikit anak-anak yang punya kisah memilukan
tentang orang tuanya yang kurang memberinya pendidikan, nasehat dan semacamnya.
Gue sebagai orang yang hidup dengan orang tua
gue yang seorang guru, merasa pendidikan dari orang tua lah yang akan mengantar
kita terjun ke kehidupan di luar sana yang begitu kompleks. Artinya pendidikan
dari orang tua ini adalah basic,
bekal, makanan utama seorang anak yang akan terjun ke masyarakat kelak. Lalu
apa jadinya kalau kita nggak punya bekal dari orang tua?
Gue udah lihat banyak contohnya dilingkungan
gue sendiri, ketika mereka dewasa mereka berubah menjadi orang yang (menurut
gue) nggak karuan. Ada yang sekolahnya putus, ada yang jadi pengangguran, lebih
parah bisa terjun ke dunia hitam. Kayak semacam penjahat gitu.
Bagja, adalah temen gue di kampung. Gue
sering main dengan dia, kadang main ke sawah, kadang main ke kali, jarang
banget kita mainan di lift dengan tombol-tombol angka yang menyala minta di
pencet. Bagja adalah seorang yang bisa gue bilang kurang beruntung.
Bapak-ibunya ada, hanya saja seperti yang gue katakan di awal tadi, pendidikan
dari orang tua Bagja nggak begitu memadai.
Keadaan itu di perparah dengan kedua orang
tuanya yang berpisah, entah waktu umur berapa Bagja saat itu. Hasilnya jelas,
tanpa orangtua yang mampu membimbing. Dia menjadi kayak sekarang, jadi
berandalan. Sekolah nggak dia lanjutin. Dia sekarang tinggal dengan neneknya.
Neneknya pun berlaku sama nggak ngasih
pendidikan apapun, hanya teriak-teriak gak jelas kalau Bagja bikin salah. Kayak
nggak masukin ayam-ayam peliharaannya ke kandang di kala sore, atau memarahi
adiknya yang masih kecil kalo mainan di pasir. Mungkin takut dia eek dan di
kubur di pasir, mungkin (emangnya kucing). Neneknya juga kelihatan
matrealistis, mungkin jaman dulu dia ini cabe-cabean atau apa gue juga nggak
tau. Tapi sebenarnya dia sayang kepada kedua cucunya.
Hanya saja yang mereka berdua (Bagja dan
adiknya) butuhkan adalah pendidikan dari orang tua. Karena gue lihat nasehat
apapun yang neneknya berikan solah nggak mempan, buat ngedidik mereka. Selalu
ngulangin kesalahan yang sama. Ibunya, sesorang yang sangat Bagja dan adiknya
butuhkan nggak ada di Indonesia. Ya, dia jadi TKI. Udah jadi fakta umum kalau
orang-orang yang ekonominya susah di kampung gue, mereka bakal bekerja ke luar
negri, jadi teknisi. Teknisi dapur.
Memang kebutuhan uang jajan Bagja berangsur
membaik, setelah sekian lama ibunya jadi TKI. Uang yang ibunya berikan, cukup
untuk makan dan jajan sehari-hari. Sayangnya mereka nggak sekolah, jadi kayak
semacam percuma, kalau hanya untuk bertahan hidup tanpa bekal pendidikan,
padahal gue cukup yakin ibunya mampu membiyayai kebutuhan sekolanya, begitupun
adiknya.
Ayahnya?
Gue rasa orang yang nggak bertanggung jawab di dunia ini adalah orang
yang ninggalin anak-anaknya tanpa bekal apa-apa untuk mereka bertahan hidup. Survive di dunia yang kejam ini. Yah,
seperti itulah sosok seorang ayahnya Bagja. Kadang gue suka ngenes ajah kalau
Bagja minjem sepeda ke temen gue buat nganter dia minta duit ke bapaknya buat
jajan, ke desa tetangga. Karena kebetulan ayahnya menikah lagi dengan wanita
desa tetangga.
Meminjam sepeda karena saat itu Bagja belum
mahir mengendarai motor kayak sekarang, menandakan rumah sang ayah cukup jauh
kalau hanya di tempuh dengan berjalan kaki. Gue suka nemenin dia sesekali.
Minta uang jajan kepada sang ayah yang pergi lalu kawin lagi. Kengenesan nggak
berhenti disitu ajah, udah nyampe di tempat kadang ayahnya (bilangnya sih)
nggak punya duit. Tentu saja Bagja pulang dengan tangan hampa. Itu berarti,
besok nggak jajan. Lagi.
Memilukan..
Saat itu juga kalau boleh gue nangis. Gue
pengen nangis.
Kejadian yang sama dialami Ega temen SD-SMP
gue di kampung, hanya saja ibu Ega nggak pergi jadi TKI. Kesamaan orang yang
nggak bertanggung jawab masih terletak pada sang ayah. Sekarang Ega jadi supir
trek tronton, melanglang buana ke penjuru indonesia, bahkan pernah ke bali.
Kalah gue sama dia.
Setali tiga uang dengan Ega dan Bagja. Inu,
anak tetangga belakang rumah gue, umurnya masih sangat belia mengalami hal yang
sama dengan kedua temen gue tadi. Orangtuanya berangkat menjadi TKI. Entah gue
kurang tau kedua orang tuanya cerai atau masih bersama, yang gue lihat Inu
hidup dan diasuh oleh kakek-neneknya. Gue belum pernah melihat sang ayah Inu
kecil, menimang dan mengajaknya jalan-jalan.
Ketika gue lihat raut muka Inu, kelihatan
banget dia emang butuh sosok ayah atau ibu yang memanjakannya. Kemarin gue
lihat waktu masih bulan puasa, dia solat tarawih bersama kakeknya, setelah
pulang dia loncat-loncatan ngambilin daun mangga, dia lompat kesana-sini seolah
nggak ada beban di pikirannya. Tapi gue yakin begitu besar rasa ingin dikasihi
oleh kedua orangtuanya, yang jelas-jelas masih ada.
Lain Inu, lain pula Aris. Ponakan gue yang
masih kecil, sekarang dia udah sekolah kelas 1 SD. Punya nasib yang hampir
sama, beruntungnya Aris, masih bisa sekolah dengan neneknya yang selalu menjaga
dan care sama Aris. Inu juga
sebenarnya sekolah, dia satu kelas dengan Aris. Mereka berdua emang satu nasib
yang membedakan kakek dan neneknya Aris lebih care, perduli banget dan sayang banget. Bukan berarti Inu nggak di
sayang sama kakeknya, hanya saja kadarnya berbeda. Karena kakeknya Inu juga
punya cucu yang harus di urus juga.
Aris ditinggal ibu dan bapaknya, kabar yang
gue denger ibu-bapaknya udah berpisah. Lagi-lagi gue sebut Aris emang masih
beruntung, lantaran ada kakek dan neneknya yang masih mau mengurusnya dengan
baik, sama baiknya ketika mengurus ibu si kecil Aris dulu. Seperti kebanyakan
suami-istri yang cerai di kampung gue, salah satu dari mereka pasti pergi ke
luar negri (kebanyakan istrinya), jadi TKI. Hal mainstream selalu terjadi dari tahun ke tahun, kayak gitu terus. Korbannya
bukan siapa-siapa, anaknya sendiri.
Setelah mempelajari kisah orang-orang
terdekat gue, gue punya kesimpulan sendiri atas apa yang terjadi selama ini.
Pertama. Ke empat orang terdekat gue tadi mempunyai
kesamaan, yaitu sama-sama nggak ada orang tua yang membimbing dan memberikan
kasih sayang, dan pendidikan utama untuk mereka. Sebagai orang tua mereka bukan
hanya mencari uang untuk bertahan hidup semata, kadang yang lebih penting
adalah kasih sayang dan pendidikan dasar dari orang tua.
Ke dua. Mereka berempat juga mempunyai
kesamaan, yaitu ayah mereka yang harusnya bertanggung jawab atas tumbuh
kembangnya, malah ninggalin mereka gitu ajah. Mungkin mereka punya alasan
sendiri kenapa mereka ninggalin anak-anaknya. Tapi disamping itu anak-anak
mereka mungkin ajah nggak akan respect lagi
jika suatu saat ketemu ayah mereka masing-masing.
Ke tiga. Rata-rata orang kampung (yang udah
punya anak) terutama ibu-ibu, punya mindset
‘menjadi TKI adalah pilihan terakhir’, mereka membuat pilihan itu tanpa memperduliakan
pilihan lain, seperti mungkin ‘membuka usaha sendiri di daerah dia tinggal’
atau ‘bekerja di tempat dimana dia tinggal, atau di sekitar daerahnya. Mindset itu sayangnya berdampak buruk
buat anak-anak mereka. Bagja contohnya.
Ke empat. Kebanyakan dari orang di kampung
gue, yang ninggalin anaknya pergi ke luar negri jadi TKI nitipin anaknya ke
ayah-ibu mereka. Kakek-nenek si anak. Nggak ada salahnya sih, cuman menurut gue
yang harusnya menjaga dan ngasih kasih sayang, kan, harusnya orang tuanya. Bukan
kakek-neneknya.
Buat gue sendiri kisah-kisah mereka, membuat
gue terus bersukur akan keberadaan orang tua gue yang selalu ada buat gue. Ngasih
pendidikan yang berharga dari gue kecil sampe sekarang, memberikan kasih
sayangnya. Nggak pernah surut kasih sayang mereka buat gue. Sebuah pelajaran
juga, buat nanti gue di masa depan.
Mungkin Allah SWT punya rencana atas apa yang
direncanakanNya, gue juga nggak tau itu apa, yang jelas kita harus selalu
positive thinking dan tetap menjalaninya. Let
it flow. Semoga kalian yang membaca ini, mendapatkan sedikit hikmah. Sukur-sukur
kalau banyak. Kadang kita tuh suka risih kalau orang tua kita tiba-tiba nelpon,
smsin, BBMin, mentionin, nanyain keadaan kita.
Waktu kecil apalagi kalau kita
disusul orang tua kadang juga kita suka kesel sama mereka, padahal di saat yang
sama gue menjad orang yang lebih beruntung dari kedua temen gue. lebih beruntung
dari tetangga gue, lebih beruntung dari ponakan gue sendiri dan mungkin juga
diluar sana masih banyak yang nggak sberuntung gue.
Sekesel apapun kita sama orang tua, serisih apapun kita akan ke-possesif-an mereka. Kenyataannya kita masih lebih beruntung dari mereka yang masih bertanya. Dimana kedua orangtuaku?
Gue berharap Aris dan Inu nggak jadi kayak
kedua temen gue. masa depan mereka berdua masih sangat panjang. Dan semoga ada
banyak orang tua yang sadar, dengan nggak ninggalin anak-anaknya gitu ajah.
Emang kamunya dimana sih Fik?
BalasHapusMemang sih banyak kisah yang mirip-mirip begitu di kampung saya juga. Dan kayaknya Allah sengaja banget bikin kejadian begitu biar banyak yang bersyukur masih hidup dan ketawa-ketawa dengan bapak-ibu.
Alhamdulillah,
di Cirebon bang, saya di perkampungannya..
Hapusalhamdulilh
Cerita Bagja dan Inu ngena banget, bang. Mirip2 sama kejadian di lingkungan saya. Terkadang, ngeliat orang, seperti di cerita ini, saya ngerasa kasian. Habisnya, mereka (tidak semua) terkadang malah melampiaskan kurangnya kasih sayang tersebut dengan kegiatan2 negatif :"(
BalasHapusiya sih, kasiannya tuh disitu. bukannya bangun dari keterpurukan malah terjerumus ke lubang hitam. harusnya memang ada bimbingan dari orang tua
Hapushikmah yg bs sy ambil : bersyukur, msh banyak org di bawah kita. jgn ngeluh dan ngegerutu
BalasHapusitu tuh
HapusBener-bener ngena fik tulisan lo yang ini.
BalasHapusPeran orang tua sangat penting dalam membentuk karakter anak, selain faktor lingkungan.
Menurut gue, bagja sama inu itu korban, yang salah itu orang tuanya kalo menurut gue. Itu juga salah satu asalan gue ngambil keguruan. Kalo gue gak bisa jadi guru disekolah, setikdaknya entar ada ilmu buat jadi guru anak-anak gue kelar dan buat diri gue sendiri.
Keren fik, lanjutkan. Hehe
makasih bang :))
Hapusiya mereka berdua adalah korban orang tua yang nggak bertanggungjawab
Mak nyut ceritanya...biasa di kehidupan sehari -hari
BalasHapusmak nyut iki opo mas?? -__-
HapusIya. Semoga tidak ada lagi orang tua yang rela meninggalkan pengasuhan pada orang yang tidak seharusnua, meski itu kakek atau nenek mereka sendiri.
BalasHapusSemoga bisa jadi pembelajaran.:)
Sedih banget nih kalo jauh dari ortu, apalagi gak tau mereka dimana. Aku juga bersyukur banget nih, ortuku masih komplit dan sehat. Apalagi sekarang sudah bisa ngasih cucu ke mereka, ada rasa bangga, walaupun cuman itu yang bisa aku kasih:)
BalasHapussaya bersyukur masih memiliki orang tua.
BalasHapusada baju baru------------------------------------> pammadistro.blogspot.com/
Hmm.. Jadi ngerasa bersyukur gue. Masih banyak orang di luar sana yang hidupnya 'tidak seenak' yang kita miliki.
BalasHapus