iklan

Hidup Diantara Keduanya





Gue tinggal di kampung. Nggak terlalu jauh dari kota. Karena Cirebon dibagi atas dua wilayah yaitu kabupaten dan kota madya. Kalau misalkan gue naik motor bisa satu jam kurang, nyampe kota. Kalau naik angkutan umum bisa nyampe satu jam lebih; itu udah termasuk ngetem, isi bensin, macet, dan berhenti di lampu merah kadang sopirnya gonta-ganti. Dari semua yang gue sebutin tadi semuanya hal yang paling ngeselin membuang waktu. Tapi kalau tanpa penumpang lain, tanpa bensin dan tanpa supir mobilnya nggak bakal jalan. Itu sama ajah kayak pacaran mau putus tapi masih cinta. Akhirnya balikan lagi. Emang nggak ada pilihan, biar nggak dikatain munafik juga.

Dan biasanya ada tambahan hal yang ngeselin yaitu di oper. Yah, di oper adalah hal yang paling ngeselin ketika gue naik angkutan umum. Di Cirebon berlaku hal semacam itu. Jadi mobil yang gue tumpangi di oper ke mobil yang lain. Ada macam-macam alasan kenapa mereka mengoper penumpang. Yang sering gue denger dari kernetnya mah katanya mobil tersebut udah di pesen, jadi si mobil ini udah ada yang booking, entah itu rombongan wisata ataupun rombongan cabe-cabean gue nggak tahu.


“Ya, kalau gitu ngapain berkeliaran nyari penumpang dong kalau udah di booking?” dengan nada sewot gue mencoba mencari keadilan. Cie keadilan.

Supir dan kernetnya jawab “soalnya pas booking kita lagi di jalan bos, gimana dong” pakek manggil gue bos segala. Menurut gue panggilan itu bentuk intimidasi, mereka sebenernya mau ngelawan pakek kata-kata tapi pakek manggil gue bos dulu. Biar guenya ngeper. Yaudah lah akhirnya gue turun, kemudian naik ke mobil yang lain, gue males debat sama supir. Gue mencari keadilan di tempat yang salah, karena mereka juga bagian dari ketidakadilan sistem.

Padahal bisa ajah si supir nganterin penumpang ke tujuannya dulu terus baru ke tempat orang yang udah booking tadi. Tapi, ya, lagi-lagi gue harus ngalah. Mereka  lagi nyari duit untuk anak-istrinya, apapun mesti mereka lakukan selagi itu halal. Lagian mereka juga sebenernya cukup bertanggungjawab, karena nyari mobil yang mau ngaterin gue dan penumpang lainnya ke tempat tujuan. Oke, fine. Kadang gue mikir gitu kalau udah seminggu dari hari kejadian. Iya, ngomel-ngomel orang kesel itu karena kemarahan dan sadarnya lama. Orang lagi marah mah jarang yang bisa mikir jernih. Nggak mau kalah. Makanya kalau lo lagi kesel mending jangan ngomong apa-apa dulu.

Itulah faktanya, itulah kenyataanya hidup di kampung harus melalui prose itu untuk sampai ke kota. Kalau nggak gitu ya nggak nyampe kota. Emang mau ngapain ke kota? Ya, gue sih selain kuliah juga pengen ganti suasana ajah. Tinggal dan besar di kampung itu membuat gue gerah, sesekali gue pengen juga keluar mampir ke kampungnya orang lain, atau kampungnya temen walaupun masih kampung-kampung juga, nyari suasana baru. Dan yang gue lakukan itu (ke kota) pun untuk nyari suasana baru..

Naik motor pun bukan tanpa hambatan, ada ajah yang bikin kesel. Mobil angkutan umum yang gue tumpangin adalah salah satunya. Mereka ini kalau berhenti suka sembarangan, bikin bingung. Takut nabrak dari belakang. Lain mobil umum lain pula pengguna motor lainnya, pengguna motor yang lain kadang sama bikin kesel juga. Ada yang nggak pakek helm lah, ada yang ngebut lah, ada yang kalau belok nggak pakek lampu sein pokokoknya macem-macem. Naik mobil sama naik motor nggak beda jauh, ada ajah yang bikin kesel. Lama-lama gue darah tinggi.

Kadang gue mikir, enak kali yah tinggal di kota. Nggak usah naik mobil sampe satu jam penuh, nggak usah naik motor ngelewatin mobil-mobil gede pengangkut barang, dan yang paling penting tempat kuliah gue deket. Dan banyak tempat-tempat nongkrong yang asik. Yang di kampung nggak gue temukan. Di kampung nongkrong kalau nggak di pos kamling ya di warung langganan, kalau nggak ya di rumah temen. Kadang orang tua temennya sampe ngomong…

“nggak ada rumah lain apa buat di tongkrongin.”



Nggak enak di hati. Akhirnya pindah. Bukan baper, tapi kalau udah ada omongan kayak gitu mending kita yang ngalah, nyadar diri. Lagain bosen juga di rumah melulu. Keluar dari rumah eh malah ke rumah lagi. Ya, mau gimana lagi orang kampung emang gitu. Yang paling bĂȘte ya temen gue yang rumahnya dijadiin tempat tongkrongan. “lah gue nongkrong ke mana kalau bosen?” katanya protes karena gue dan temen-temen bingung mau nongkrong dimana dan memutuskan untuk nongkrong di rumahnya. Gue pikir iya juga, gimana kalau dia bosen?

Yah gue juga bosen, bukan cuman dia ajah. Makanya gue jarang main, jarang keluar. Selain karena bosen, temen-temen seumuran gue pada nggak ada yang nongkrong lagi. Sebagian ada yang kerja, ada juga yang udah berkeluarga sementara sisanya masih gini-gini ajah. Gampang bosen emang kalau hidup di kampung, terlebih kampung tempat gue tinggal udah banyak debu dan airnya nggak jernih. Nggak kayak di kampung yang ada di Majalengka atau Kuningan, masih asri dan sejuk. Gue disini kalau siang panasanya minta joged. Panas banget.

Gue bukannya nggak bersyukur tinggal di kampung, yang nyaman dan aman nggak mendengar bisingnya suara kendaraan. Lagian kampung gue mah nggak aman, ada ajah maling ini-itu, nggak nyaman juga dan mobil-motor sliweran kesana-kemari.

Dengan kondisi itulah yang membulatkan tekad gue untuk keluar dari kampung dan menetap di… diantara keduanya. Yah, ada kampung yang dekat ke kota dan dekat juga ke kampung (ini gimana sih). Maksud gue kalau bepergian ke kota tidak terlalu jauh walaupun tempat gue berpijak itu daerah perkampungan. Kan enak toh..


Komentar

  1. Enak mah kalo hidup di dua lingkungan yang berbeda, kalo butuh hiburan tinggal ke kota dan kalo lagi buntu cari ketenangan balik ke kampung deh hahaha. Daripada yang hidup di kota jauh dari kampung. Hikz.

    BalasHapus
  2. Solusi dari gue sih, lo tinggal di perbatasan keduanya. Jadi kalau lo mau ke kota, lo tinggal selangkah ke kanan. Kalau mau ke kampung, selangkah ke kiri. Lo juga bisa buat rekor muri, kayang dari desa kampung. Saran aja sih, ini.

    BalasHapus
  3. Aku tinggal di desa yang deket banget sama perumahan elit karena uda termasuk kawasan industri.. Tapi asyik-asyik aja tuh, meski kalok mau ke kota makan waktu satu jam kalok pakek macet :'

    BalasHapus
  4. sama mas saya juga, hidup di kampung tpi dket ke kota. jaraknya kira-kira 10 mnt klo pke motor darri rumah ke kota

    BalasHapus
  5. kayak kodok, hidupnya di dua alam yang berbeda... ampibi

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih atas komen dan kunjungannya. Kalau ada kesempatan saya akan BW balik.